MAKALAH
“Hemiplegic Gait”
Di susun oleh :
WISDA NOVALANDA (1503108)
AKADEMI FISIOTERAPI WIDYA HUSADA SEMARANG
2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Hemiplegic gait” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Kami berterima kasih pada Ibu Suci Amanati selaku Dosen mata kuliah Biomekanik Akademi Fisioterapi Widya Husada Semarang yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai “Hemiplegic Gait”. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran
yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Semarang, 17 Mei 2016
Penyusun
Daftar Isi
BAB I
BAB II
2.1 Perawatan Pasien Stroke. 3
BAB III
3.2.4 Latihan aktivitas sehari-hari 13
3.2.5 Pendekatan Motor Relearning Programme. 13
BAB IV
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stroke secara nyata menjadi penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Stroke juga merupakan penyebab utama kecacatan jangka panjang, dan memiliki dampak emosional dan sosial-ekonomi besar pada pasien, keluarga, dan layanan kesehatan (Stein, et al., 2009). Stroke merupakan sindrom klinis akibat gangguan pembuluh darah otak, timbul mendadak dan biasanya mengenai penderita usia 45-80 tahun. Umumnya laki-laki sedikit lebih sering terkena dari pada perempuan. Biasanya tidak ada gejala-gejala prodroma atau gejala dini, dan muncul begitu mendadak (Rasyid & Soerti Dewi, 2007). Penyebab stroke diakibatkan oleh trombosis, embolisme serebral, iskhemia, dan hemoragi serebral (Smeltzer, 2002). Stroke terjadi akibat adanya gangguan suplai darah ke otak. Ketika aliran darah ke otak terganggu, maka oksigen dan nutrisi tidak dapat dikirim ke otak. Kondisi ini akan mengakibatkan kerusakan sel otak mati (Diwanto, 2009).
Masalah-masalah yang ditimbulkan oleh stroke bagi kehidupan manusia sangat kompleks. Adanya gangguan-gangguan fungsi vital otak seperti gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan, gangguan kontrol postur, gangguan sensasi, dan gangguan refleks gerak akan menurunkan kemampuan aktivitas fungsional individu sehari-hari. Bagaimanapun, pasien stroke hemiplegia atau hemiparesis akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan ADL/Activity Daily Living’s (Irfan, 2010).
Pada pasien stroke, hal-hal yang berkaitan dengan fungsi sistem sensorik dan motorik mengalami disfungsi dan akhirnya dapat membuat ROM terbatas, tonus otot menurun, gangguan kognitif. Menurunnya fungsi gerak pada pasien stroke akan memberikan dampak pada ADL (Activity Daily Living’s). Hal itu mengarah pada kemunduran fisik dan membuat pasien menjadi tergantung pada orang lain baik sebagian dibantu (dependent ringan atau sedang) maupun ketergantungan seluruhnya (dependent total atau berat). Penderita stroke sangat tergantung kepada keluarganya dalam meningkatkan kemampuan pasien untuk mandiri, meningkatkan rasa percaya diri pasien, meminimalkan kecacatan pada stroke. Keluarga yang merupakan tumpuan utama harus diberi konseling atau penerangan mengenai keterbatasan serta masalah yang dialami penderita (Hendro Susilo, 2003). Pada pasien pasca stroke pada umumnya akan terjadi kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler, kelemahan, parestesia, paralisis hipotoni (awal), paralisis spastis, serta kerusakan komunikasi verbal yang meliputi kehilangan tonus/kontrol otot fasia/oral (Suryantika, 2011).
Fisioterapi berkonsentrasi pada gerakan yang benar pada anggota gerak dan tubuh yang bertujuan untuk menolong penderita untuk memaksimalkan kemampuannya dalam mengerjakan tugas sehari-hari, menambah tingkat kemandirian, dan kualitas hidupnya. (R Buckman, 2010)
Semua upaya terapi sangat dipengaruhi oleh kondisi psikologis penderita. Seorang terapis harus mempertimbangkan status mental penderita dalam menentukan intervensi yang akan dilakukan. Tujuan dari fisioterapi pada penderita hemiplegi akibat stroke adalah memandirikan pasien dengan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional yang dimilikinya. Tingkat kemandirian ini dicapai apabila penderita kooperatif dan mengikuti terapi sesuai dengan waktu yang diprediksikan oleh terapis.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana perjalanan penyakit hemiplegia ?
Metode terapi apa saja yang digunakan dalam penyembuhan penyakit hemiplegia ?
1.3 Tujuan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Biomekanik dan untuk mengetahui tentang penjelasan “Hemiplegic Gait” pada pasien stroke.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Perawatan Pasien Stroke
Perawatan umum klien stroke terdiri dari perawatan 6 B (Breath, blood, brain, bowel, bladder, bone) dan perawatan fungsi luhur. Tahap rehabilitasi bertujuan mengembangkan fungsi tubuh secara utuh serta mencapai derajat kualitas seperti sebelum sakit. Mengetahui keadaan tersebut, maka peran perawat bekerja sama dengan tim kesehatan lain sangat dibutuhkan baik masa akut, atau sesudahnya. Usaha yang dapat dilaksanakan mencakup pelayanan kesehatan secara menyeluruh, mulai promotif, preventif, kuratif sampai dengan rehabilitasi (Hendro Susilo, 2003).
2.2 Hemiparase
Hemiparese adalah kelemahan separuh badan dimana lengan dan tungkai sesisi lumpuh sama beratnya ataupun tungkai sesisi lebih lumpuh dari lengan ataupun sebaliknya (Aras, 2003). Kelemahan otot kaki, lutut dan pinggul dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan dinamis yang dikarenakan oleh tubuh tidak mampu mempertahankan posisi saat adanya gaya dari luar. Jika gangguan keseimbangan dinamis tidak ditangani dengan cepat maka pasien akan sulit untuk melakukan aktvitas fungsionalnya. Untuk menangani ganguan tersebut dibutuhkan penanganan terpadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu mulai dari penanganan medis sampai
rehabilitasi medik (fisioterapi). Berdasarkan kemampuan yang dimiliki sesuai dengan kewenangannya, maka untuk memulihkan pasien hemiparese seharusnya segera ditangani oleh tenaga fisioterapis (Irfan, 2010).
2.3 Metode Terapi
Dalam intervensi fisioterapi metode yang paling sering digunakan untuk meningkatkan keseimbangan dinamis pada pasien stroke hemiparese adalah metode konvensional tetapi menurut beberapa literature dan penelitian Motor learning programme sangat baik diperuntukan pada pasien stroke hemiparese untuk meningkatkan keseimbangan dinamis (Janet, 2004).
Metode konvensional adalah metode yang digunakan dengan pemberian Infra Red (IR), Micro Waif Diatermy (MWD), dan terapi latihan menggunakan Range of Motion Exercise (ROM) yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot. MRP merupakan suatu program yang diperuntukkan untuk memperoleh kembali kontrol motorik melalui tugastugas motorik dengan prinsip latihan pemahaman tentang kinematika dan kinetika gerakan normal (biomekanika), kontrol dan latihan motorik (motor control and motor learning). Tujuan dari MRP yaitu untuk mengaktivasi otot-otot fleksid dan menginhibisi otot yang overaktif melalui tugas-tugas motorik,
metode ini memberikan bukti/fakta bahwa pendengaran (auditory) atau penglihatan (visual) dapat merangsang kontraksi otot (khususnya biofeedback) (Janet, 2004).
2.4 Definisi Jalan
Jalan merupakan gerak berpindah tempat atau memindahkan tubuh dari satu titik ke titik lainnya dengan cara melangkah menggunakan kaki secara bergantian. Gerak tubuh yang kita lakukan dalam berjalan didominasi oleh langkah kaki, meskipun gerak tangan, dan anggota badan lainnya juga di perlukan tetapi gerak langkah kaki sebagai gerak utama.
Pada manusia ini dilakukan dengan cara bipedal (dua kaki). Dengan cara ini jalan merupakan gerakan yang sangat tidak stabil. Meski demikian pada orang normal jalan hanya membutuhkan sedikit kerja otot-otot tungkai. Pada gerakan ke depan sebenarnya yang memegang peranan penting adalah momentum dari tungkai itu sendiri atau akselerasi. Kerja otot justru lebih banyak pada saat deselerasi.
2.5 Pola berjalan
Dalam berjalan dikenal ada 2 fase, yaitu fase menapak (stance phase) dan fase mengayun (swing phase). Ada pula yang menambahkan satu fase lagi, yaitu
fase dua kaki di lantai (double support) yang berlangsung singkat. Fase double support ini akan semakin singkat jika kecepatan jalan bertambah, bahkan
pada berlari fase double support ini sama sekali hilang, dan justru terjadi fase dimana kedua kaki tidak menginjak lantai.
Fase menapak (60%) dimulai dari heel strike atau heel strike, foot flat, mid stance, heel off dan diakhiri dengan toe off atau ball off.
Sedangkan fase mengayun (40%) dimulai dari toe off, swing dan diakhir dengan heel strike. Perry mengklasifikasikan fase jalan ini secara fungsional, yang terbagi atas fase menapak (initial contact, loading response, midstance, terminal stance dan preswing) dan fase mengayun ( initial swing, midswing dan terminal swing).
Beberapa istilah dalam jalan:
v Cadence: jumlah langkah per menit (irama jalan)
v One gait cycle: dihitung dari heel strike sampai heel strike lagi pada kaki yang sama.
v Step length: jarak (panjang) antara tumit kanan dan kiri saat melangkah
v Stride width: jarak (lebar) antara tengah kaki kanan dan kiri saat melangkah
v Stride length: jarak (panjang) antara tumit kanan ke tumit kanan berikutnya setelah melangkah
Komponen-komponen penting dalam berjalan
Fase menapak
§ Ekstensi sendi panggul (hip)
§ Geseran ke arah horizontal lateral pada pelvis dan badan
§ Fleksi lutut sekitar 15o pada awal heel strike, dilanjutkan dengan ekstensi dan fleksi
lagi sebelum toe Off
Fase mengayun
§ Fleksi lutut dengan awalan hip ekstensi
§ Pelvic tilt kearah lateral bawah pada saat toe off
§ Fleksi hip
§ Rotasi pelvis ke depan saat tungkai terayun
§ Ekstensi lutut dan dorsifleksi ankle dengan cepat sesaat sebelum heel strike
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi Hemiplegia
Hemiplegia adalah kelumpuhan total pada lengan, kaki, dan bagasi di sisi yang sama dari tubuh. Hemiplegia Hemiplegia lebih berat dibanding dengan hemiparesis , dimana satu setengah tubuh telah menandai kelemahan kurang.
Ketidakmampuan untuk menggerakkan sekelompok otot di satu sisi tubuh. Ketika hemiplegia disebabkan oleh stroke, sering melibatkan otot-otot di wajah, lengan dan kaki.kelumpuhan yang terjadi pada satu sisi anggota gerak
Pengendapan lemak yang lama-lama menebal dan menyubat pembuluh darah kemudian mengganggu peredaran darah ke otak. Sehingga menyebabkan kepala kekurangan suplai O2 dan darah.Apabila seseorang mengalami demikian menyebabkan sulit berbicara, mulut merot ke sisi atau samping, mata sulit melihat, kesulitan berfikir, hilang kesadaran dan salah satu sisi muka atau tubuhnya mengalami kelayuan. Kondisi seperti itu jika tidak di atasi dengan baik maka pembuluh nadi bisa pecah, darah keluar mendesak otak dan akan mengakibatkan kelumpuhan.
3.1.1 ETIOLOGI
a) Pada bayi :
· Proses kehamilan
· Pengaruh forseps atau trauma persalinan yang ,enyebabkan cidera otak
b) Pada orang dewasa
- Trauma
- Perdarahan,
· Infeksi otak
- Kanker
· Stroke (hipertensi, perokok)
c) Disebabkan oleh beberapa penyakit :
- Vascular: pendarahan otak , stroke
- Infektif: ensefalitis , meningitis , abses otak
- Neoplastik: glioma - meningioma
- Demielinasi: sclerosis disebarluaskan , lesi ke kapsul internal
· Trauma: laserasi otak, hematoma subdural jarang menyebabkan hemiplegia adalah karena suntikan bius lokal diberikan intra-arterially cepat, bukan diberikan dalam cabang saraf.
· Bawaan: cerebral palsy
- Disebarluaskan: multiple sclerosis
- Psikologis: Parasomnia ( nokturnal hemiplegia)
3.1.2 PATOFISIOLOGI
Secara sederhana patofisiologi penyakit hemiplegia adalah sebagai berikut :
ü Etiologi
ü Kekurangan suplai oksigen pada otak
ü Kematian neuron
ü saluran kortikospinal rusak
ü Cidera dimanefestasikan pada sisi berlawanan tubuh
ü Hemiplegi dextra / hemiplegi sinistra
Hemiplegia paling banyak terjadi karena adanya rupture arteri yang memperdarahi korteks motorik primer. Darah yang seharusnya berada di dalam arteri merembes keluar sehingga mengurangi suplai nutrisi terutama supai oksigen, hal itu memungkinkan sel saraf untuk mengalami kematian yang dapat menyebabkan kelumpuhan sesisi.
Selain itu, darah yang keluar dari arteri meneken sistem piramidalis yang mengganggu impuls saraf atau perintah yang di berikan oleh girus presentralis. Tekanan darah ini mengganggu kapsula interna sebagai tempat di bentuknya jaras kortikospinalis dan kortikobular di daerah genu sampai krus posterior, gangguan ini juga dapat menyebabkan lesi di daerah kapsula interna sehingga kapsula interna ini tidak dapat meneruskan perintah yang di berikan untuk sampai di kornu anterior dorsalis untuk di teruskan ke otot yang di tujukan demi menghasilkan gerakan yang di inginkan
Hemiplegia yang di terjadi pada batang otak sesisi dinamakan hemiplegia alternans. Hemplegia alternans mempunyai 3 jenis yang berbeda dan mempengaruhi saraf cranial yang berbeda pula. Jenis-jenisnya adalah sebagai berikut,
1. Sindrom hemiplegia alternans di mesensefal
Sindrom Benedik
Sindrom Benedik merupakan akibat tersumbatnya cabang-cabang penetrasian arteri basilaris di otak tengah. Ini digambarkan sebagai suatu kelumpuhan Nervus
III (Okulomotorius) ipsilateral yang disertai oleh tremor kontralateral (cerebelar). Sebuah tremor berirama (ritmik) pada tangan atau kaki bagian
kontralateral yang ditingkatkan oleh adanya gerakan mendadak atau tanpa disengaja, menghilang ketika beristirahat. Merupakan akibat dari kerusakan pada
nukleus red (nukleus ruber.pen) yang menuju keluar dari sisi yang berlawanan pada hemisfer cerebelum. Bisa juga terdapat hiperestesia kontralateral.
Sindrom Benedik terjadi bila salah satu cabang dari rami perforantes paramedial arteri basilaris yang tersumbat, maka infark akan ditemukan di daerah yang
mencakup 2/3 bagian lateral pedunkulus cerebri dan daerah nukleus ruber. Maka hemiparesis alternans yang ringan sekali tidak saja disertai oleh hemiparesis
ringan Nervus III, akan tetapi dilengkapi juga dengan adanya gerakan involunter pada lengan dan tungkai yang paretik ringan (di sisi kontralateral) itu.
Sindrom Benedik Terjadi jika lesi menduduki kawasan nukleus ruber sesisi yang ikut rusak bersama-sama radiks Nervus Okulomotorius ialah neuron-neuron dan
serabut-serabut yang tergolong dalam susunan ekstrapiramidal. Maka gejala yang muncul ialah paralisis Nervus Olulomotorius ipsilateral, ataksia dan tremor
pada lengan sesisi kontralateral.3,4Sindrom benedik merupakan lesi pada area nukleus red memotong saraf fasikuler dari Nervus III pada saat mereka melewati
otak tengah bagian ventral, beberapa lesi menyebabkan kelumpuhan okulomotorius, dengan diskinesia (hiperkinesia, ataksia) kontralateral dan tremor yang
menetap terjadi hanya pada lengan.
Sindrom benedik (paramedial midbrain syndrome) merupakan hasil dari penggabungan dan pelunakan fasikuler dari satu Nervus Okulomotor pada regio nukleus red ipsilateral. Maka pasien akan mengalami kelumpuhan N.III tipe perifer dengan diskinesia (hiperkinesia dan ataksia) kontralateral dan tremor yang menetap pada lengan.1,4 Sindrom Benedik adalah bila pada otak tengah tingkat kerusakan sampai di nukleus red atau di fasikulus Nervus III akan menyebabkan kelumpuhan pada Nervus III yang komplit atau parsial; kerusakan sampai pada nukleus red (diluar dari sisi lain hemisfer cerebelum) juga akan menyebabkan tremor kontralateral.2,6 Sindrom Benedik adalah sindrom neurologi paralisis Nervus III karena trauma pada Nervus Okulomotor dan nukleus red.12
Sindrom Weber
Sindrom Weber adalah suatu sindrom yang terdiri dari paralysis okulomotor pada sisi yang sama dengan lesi, yang mengakibatkan ptosis, strabismus, dan hilangnya refleks cahaya serta akomodasi, juga hemiplegi spastik pada sisi yang berlawanan dengan lesi dengan peningkatan refleks-refleks serta hilangnya refleks superfisial. Sindrom Weber disebut juga Alternating oculomotor hemiplegia atau Weber’s paralysis atau hemiparesis alternans nervus okulomotorius.
Sindrom Weber dapat disebabkan oleh hal sebagai berikut:
1. Penyumbatan pembuluh darah cabang samping yang berinduk pada
ramus perforantes medialis arteria basilaris.
2. Insufisiensi peredarah darah yang mengakibatkan lesi pada batang otak.
3. Lesi yang disebabkan oleh proses neoplasmatik sebagai akibat invasi dari
thalamus atau serebelum. Lesi neoplasmatik sukar sekali memperlihatkan
keseragaman oleh karena prosesnya berupa pinealoma, glioblastoma dan
spongioblastoma dari serebelum.
4. Lesi yang merusak bagian medial pedunkulus serebri.
5. Stroke (perdarahan atau infark) di pedunkulus serebri.
6. Hematoma epiduralis.
7. Tumor lobus temporalis. (1,3,4)
Manifestasi yang ditimbulkan dapat dengan mudah dimengerti oleh karena setiap gejala dan tanda mencerminkan disfungsi sistema sarafi yang terlibat alam
lesi tertentu. Lesi yang disebabkan oleh proses neoplasmatik dapat merusak bangunan-bangunan mesensefalon sebagai akibat invasi dari thalamus atau
serebelum. Oleh karena proses tersebut berupa pinealoma, glioblastoma dan spongioblastoma dari serebelum, maka tiap corakan kerusakan dapat terjadi,
sehingga lesi neoplasmatik sukar sekali memperlihatkan suatu keseragaman. Lesi unilateral di mesensefalon mengakibatkan timbulnya hemiparesis atau
hemiparesis kontralateral
Lesi yang merusak bagian medial pedunkulus serebri akan menimbulkan hemiparsis yang disertai paresis nervus okulomotorius ipsilateral. Kombinasi kedua
jenis kelumpuhan ini dikenal dengan nama hemiparesis alternans nervus okulomotorius atau Sindroma dari weber. Lesi pada daerah fasikulus longitudinalis
medialis akan mengakibatkan timbulnya hemiparesis alternans nervus okulomotorius yang diiringi juga dengan gejala yang dinamakan oftalmoplegia
interneklearis.
2. Sindrom hemplegia alternans di pons
Sindroma Foville adalah suatu sindroma yang ditandai dengan defisit gerakan abduksi, horizontal gaze dan kelemahan fasialis, kehilangan pengecapan, analgesia fasialis, horner sindroma, ketulian ipsilateral.
Sindroma Raymond adalah suatu kombinasi parese N.VI dengan hemiplegi kontralateral, sebagai akibat keterlibatan traktus piramidalis yang berdekatan dengan N.VI.
Sindroma Millard-Gubler adalah kombinasi defisit abduksi hemiplegi kontralateral, parese fasialis ipsilateral. Struktur yang dikenal adalah fasikulus N.VI, piramidalis dan fasikulus N.VI.
3. Sindrom hemiplegia alternans di medulla spinalis
Stroke terjadi di medula dan cerebellum. Medula mengontrol fungsi-fungsi penting seperti menelan, artikulasi bicara, rasa, bernaas, kekuatan, dan sensasi. Cerebellum penting untuk koordinasi. Suplai darah ke daerah-daerah ini adalah melalui sepasang arteri vertebralis dan cabang, yang disebut arteri cerebellum posterior inferior (Pica).
Awalnya, Pica dianggap sebagai arteri utama yang diblokir, namun hal ini telah dibuktikan dari studi otopsi. Dalam delapan dari 10 kasus, arteri vertebralislah yang tersumbat akibat penumpukan plak atau karena perjalanan dari bekuan yang berasal dari jantung. Pada pasien yang lebih muda, diseksi arteri vertebralis menyebabkan infark. Luas stroke hanya sekitar 0,39 dalam (1 cm) secara vertikal di bagian lateral medula dan tidak melintasi garis tengah.
Sepenuhnya 50% dari pasien melaporkan gejala-gejala neurologis sementara selama beberapa minggu sebelumnya stroke. Selama 48 jam pertama setelah stroke, defisit neurologis berlangsung dan berfluktuasi Pusing, vertigo, nyeri wajah,. penglihatan ganda , dan kesulitan berjalan adalah gejala awal yang paling umum.Rasa sakit wajah bisa sangat aneh dengan jabs tajam atau sengatan sekitar mata, telinga, dan dahi. Pasien merasa "mabuk laut" atau "off-balance" dengan mual dan muntah. Objek yang tampil ganda, miring, atau bergoyang. Seiring dengan ketidakseimbangan gaya berjalan, menjadi hampir mustahil bagi pasien untuk berjalan meskipun kekuatan otot yang baik. Gejala lain termasuk suara serak, bicara cadel, hilangnya rasa, kesulitan menelan, cegukan, dan sensasi diubah pada tungkai sisi yang berlawanan.
Mata pada sisi yang terkena memiliki kelopak mata sayu dan seorang murid kecil.Para goncang mata ketika orang bergerak di sekitar, ini disebut nistagmus . Ada penurunan rasa sakit dan persepsi suhu pada sisi yang sama dari wajah. Anggota tubuh pada sisi yang berlawanan menunjukkan penurunan persepsi sensorik .Gerakan sukarela dari lengan pada sisi yang terkena yang canggung. Kiprah adalah "mabuk," dan pasien kesukaran dan mengarah ke satu sisi.
Hemiplegi termasuk paralysis pada bagian sebelah tubuh dan menimbulkan efek pada arm, leg, dan trunk. Yang paling utama yaitu pada limb dan trunk dilihat dari posisi dan luas lesi, dan wajah yang terkena.
Hemiplegi adalah suatu keadaan spastik/flaccid paralysis lengan dan tungkai separuh badan akibat gangguan kontralateral fungsi otak. Keadaan yang lebih ringan dari penyakit ini disebut hemipharesis.
Penyebabnya antara lain:
1. CVD = emboli, trombus, macam-macam tumor dan infeksi
2. CVA = trsums / perdarahan intracerebral dan subarachnoid sangat erat kaitannya dengan faktor resiko seperti hipertensi , kolesterol, pola hidup stress, diabetes dan kegemukan.
Proses patologi diawali oleh gangguan sirkulasi darah seperti perdarahan di otak di daerah sirkulasi willici. Tempat-tempat yang sering mengalami gangguan : capsula interna, corpus striatum, dan thalamus.
Hemiplegia umumnya terjadi pada usia >40 tahun, karena kualitas pembuluh darah mulai menurun (degenerasi) bersamaan dengan pertambahan usia, dalam hal ini tekanan intravusal cenderung meninggi sehingga pembuluh darah di otak suatu saat pecah menyebabkan hemiplegia.
Pada penyumbatan peredaran darah di batang otak (pons) menyebabkan kelumpuhan sekitar wajah sisi homolateral serta lengan dan tungkai sisi kontralateral.
Berdasarkan tempat kerusakan, hemiplegia terbagi menjadi 3 jenis :
1. Hemiplegi akibat hemilesi di cortex mototrik primer
2. Hemiplegi akibat hemilesi di capsula interna
3. Hemiplegi Alternans akibat hemilesi di batang otak, dapat terjadi di mesencephalon, Pons.
Pada penderita hemiplegi, reflex yang diperiksa adalah reflex patologi dan fisiologi, seperti : refleks babinsky.
Posisi umum penderita hemiplegi:
1. Kepala penderita fleksi dan rotasi ke arah yg sakit. dan wajah miring ke
sisi yang sakit.
2. Lengan: scapula retraksi dan shoulder girdle depresi, shoulder tertarik ke
arah belakang dan bawah, elbow fleksi serta pronasi dari lengan bawah, wrist joint fleksi serta ulnar deviasi, jari-jari fleksi dan adduksi, thumb fleksi dan adduksi.
3. Vertebra : trunk berotasi ke belakang le sisi yang sakit disertai dengan
side fleksi ke arah yg sakit.
4. Pelvic rotasi ke arah belakang ke sisi hemiplegi, jika terjadi kompressi saat
berjalan yang mengganggu tubuh yang sehat dapat menimbulkan skoliosis.
5. Tungkai: hip adduksi dan internal rotasi, knee ekstensi, kaki plantar dan
inversi, jari-jari kaki fleksi dan adduksi (kadang-kadang ekstensi yang membuat suatu gejala babinsky’s sign positif).
Stadim hemiplegi terdiri dari 3 tingkatan, yaitu:
1. Stadium akut :
Gejala ditandai dengan hilangnya kesadaran secara tiba-tiba atau apoflasic yang diawali dengan sakit kepala, pusing tapi kadang-kadang tidak disertai kelelahan, nafas bersuara berat karena saluran nafas terhalang oleh lidah yang paralysis. Semua refleks hilang dan bola mata berputar ke arah sisi yang rusak. Wkatunya 2-3 minggu (lumpuh total).
2. Stadium recovery/flaccid :
Gejalanya nadi cepat, penderita sadar, tidak dapat tidur, suhu tubuh naik, mudah terkejut, sistem reflex mulai ada sedikit, otot yang terkena flaccid dalam waktu 2-3 minggu akan kembali utamanya pada lengan dan jari-jari. Di dalam tubuh ada 2 otot yang paling berfungsi pada penderita hemiplegi yaitu M.latissimus dorsi dan M.gluteus maximus.
3. Stadium residual spastik :
Otot dan refleks pada stadium residual spastik mulai kembali. Refleks kembali akan tetapi hyperrefleks, kemudian akan timbul ankle clonus dan babinsky’s sign. Perasaan penderita tidak stabil, selalu khawatir akan jatuh, pada saat berjalan tubuh yang sehat akan menyangga berat badan sehingga akan terjadi imbalance muscles. Cara berjalannya condong ke arah sisi yang sehat dan pada saat berjalan tungkainya membentuk pola setengah lingkaran karena bantuan dari M.latissimus dorsi dan M. gluteus maximus yang berfungsi mengangkat pelvic dan mengekstensikan hip joint.
Apoxia sensorik dan motorik terjadi gangguan bicara karena terkenanya area broca atau area-44 yang terletak di samping kanan. Sensasi mengalami gangguan terutama rasa kinestetik.
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain : statik pneumonia chest terjadi karena immobilisasi misx slama 2-3 minggu, kontraktur, frozen shoulder, drop foot, scoliosis, drop hand, atropi otot, gangguan psikis, decubitus, dan gangguan perkemihan.
3.1.3 TANDA DAN GEJALA
Hemiplegia berarti kelemahan parah dari anggota badan pada satu sisi tubuh tetapi fitur tertentu dapat sangat bervariasi dari orang ke orang. Masalah bisa meliputi:
v Kesulitan dengan kiprah pola gerakan dari anggota badan hewan,
termasuk manusia , selama gerak atas substrat padat
v Kesulitan dengan saldo sambil berdiri atau berjalan
v Memiliki kesulitan dengan motor kegiatan seperti memegang, menggenggam atau
menjepit
v Peningkatan kekakuan otot
v Otot kejang
v Kesulitan berbicara (afasia)
v Kesulitan menelan makanan
v Keterlambatan yang signifikan dalam mencapai tahap perkembangan seperti berdiri,
tersenyum, merangkak atau berbicara
v anak yang menderita hemiplegia juga memiliki perkembangan mental yang abnormal
v Perilaku masalah seperti kecemasan, kemarahan, lekas marah, kurang konsentrasi
atau pemahaman
v Emosi-depresi
v Mati rasa
v Perasaan kesemutan
v Nyeri
v Perubahan penglihatan
v Masalah keseimbangan
v Gangguan metabolisme
3.1.4 TEST DIAGNOSTIK
Pemeriksaan klinis untuk mengidentifikasi ketidaknormalan tonus, seringnya terjadi hipotonik yang diikuti dengan hipertonik, ketidaknormalan postur dan keterlambatan perkembangan motorik.
Ultrasonografi kranial untuk mendeteksi hemoragi dan iskemik hipoksik.
CT scan untuk mendeteksi lesi-lesi susunan saraf pusat
Tomografi emisi positron dan tomografi terkomputerisasi emisi foton tunggal untuk melihat metabolisme dan perfusi otak.
MRI untuk mendeteksi lesi-lesi kecil.
3.1.5 PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan harus didasarkan pada penilaian oleh para profesional kesehatan yang relevan, termasuk :
§ Obat dapat digunakan untuk mengobati masalah-masalah yang berkaitan dengan tubuh. Obat seperti Librium atau Valium dapat digunakan sebagai suatu relaksan. Obat-obatan juga diberikan kepada individu yang mengalami kejang berulang, yang mungkin menjadi masalah tersendiri tetapi terkait setelah cedera otak .
§ Pembedahan mungkin digunakan jika individu mengembangkan masalah sekunder contracture , dari ketidakseimbangan parah aktivitas otot. Dalam kasus seperti ini, ahli bedah dapat memotong ligamen dan meringankan kontraktur sendi. Individu yang tidak mampu menelan mungkin memiliki tabung dimasukkan ke dalam perut. Hal ini memungkinkan makanan yang akan diberikan langsung ke dalam perut. Makanan dalam bentuk cair dan ditanamkan pada tingkat rendah. Beberapa individu dengan hemiplegia akan mendapatkan keuntungan dari beberapa jenis prostetik perangkat.. Ada banyak jenis kawat gigi, dan splints tersedia untuk menstabilkan sendi, membantu dengan berjalan dan menjaga tubuh bagian atas tegak.
§ Rehabilitasi adalah pengobatan utama dari individu dengan hemiplegia. Dalam semua kasus, tujuan utama dari rehabilitasi adalah untuk mendapatkan kembali fungsi maksimum dan kualitas hidup. Baik fisik dan terapi okupasi secara signifikan dapat meningkatkan kualitas hidup. Terapi fisik dapat membantu meningkatkan kekuatan otot, mobilitas seperti berdiri dan berjalan, dan fungsi fisik lainnya. terapi Kerja dapat membantu individu kereta kegiatan hidup sehari-hari seperti menyikat gigi, menyisir rambut atau dressing.
3.1.6 KOMPLIKASI
v sulit berbicara
v mulut merot ke sisi atau samping
v mata sulit melihat, kesulitan berfikir
v hilang kesadaran
v salah satu sisi muka atau tubuhnya mengalami kelayuan.
v pembuluh nadi bisa pecah darah keluar mendesak otak dan akan mengakibatkan
kelumpuhan.
3.2 Metode Fisioterapi yang dilakukan dalam
3.2.1 Elektro Terapi
Elektro terapi yang digunakan pada kondisi ini adalah Continuous Electro Magnetic 27 MHz (CEM). Merupakan arus AC dengan frekuensi terapi 27 MHz yang memproduksi energi elektromagnetik dengan panjang gelombang 11,6 meter, di gunakan untuk menimbulkan berbagai efek terapeutik melalui suatu proses tertentu dalam jaringan tubuh. Arus CEM ini menghasilkan energi internal kinetika di dalam jaringan tubuh sehingga timbul panas; energi ini akan menimbulkan pengaruh biofisika tubuh misalnya pada thermosensor lokal maupun sentral (kulit dan hipotalamus) dan juga terhadap struktur persendian. Tujuan yang diharapkan dan arus CEM ini adalah menurunkan aktifitas noxe sehingga nyeri berkurang, meningkatkan elastisitas aringan dan sebagai pendahuluan sebelum exercises.
3.2.2 Terapi Manipulasi
Terapi manipulasi yang diberikan adalah gerakan roll dan slide pada gerakan-gerakan sendi bahu yang mengalami keterbatasan. Tujuan metode ini adalah membebaskan perlengketan pada permukaan sendi, sehingga jarak gerak sendi akan bertambah. Dasar teknik ini adalah memperhatikan bentuk kedua permukaan sendi dan mengikuti aturan Hukum Konkaf dan Konveks suatu persendian.
3.2.3 Exercises Therapy
Exercises therapy yang diberikan pada kondisi tersebut adalah latihan Resistance Exercises dan Metode Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) yang bertujuan meningkatkan kekuatan otot daerah bahu baik manual maupun dengan menggunakan beban. Selain itu juga dapat diberikan latihan dengan teknik Hold Relax yang bertujuan untuk mengulur otot -otot yang memendek pada daerah bahu.
Latihan tersebut sebaiknya dilaksanakan setelah penderita mendapatkan modalitas elektro terapi.
3.2.4 Latihan aktivitas sehari-hari
Bentuk aktivitas yang bermanfaat bagi penderita frozen shoulder adalah menyisir rambut, mengambil sesuatu yang tinggi, mengambil dompet, memutar lengan, dan mengangkat beban yang kecil-kecil.
3.2.5 Pendekatan Motor Relearning Programme pada gangguan jalan pasca stroke
Langkah 1 Analisa jalan
Problem utama jalan pada pasien stroke
Fase menapak tungkai sisi sakit
§ Terbatasnya ekstensi hip dan dorsifleksi ankle
§ Terbatasnya kontrol fleksi-ekstensi lutut pada lingkup gerak sendi 0-15⁰ (dapat
berupa hiperekstensi lutut atau fleksi lutut yang berlebihan)
§ Terlalu besarnya (atau terbatasnya) geseran horizontal lateral pelvis
§ Terbatasnya plantarfleksi ankle saat toe off
§ Terlalu besarnya gerakan pada sisi sehat berupa pelvis tilt kearah bawah dan
geseran horizontal lateral kearah sisi sakit.
§ Fase mengayun tungkai sisi sakit
§ Terbatasnya fleksi lutut saat mau mengayun (toe off)
§ Terbatasnya fleksi hip
§ Terbatasnya ekstensi lutut dan dorsifleksi ankle saat heel strike
Menurut Knuttson dan Richards, 1979, ada 3 tipe jalan penderita hemiplegia, yaitu:
Type I
· Hiperaktif “stretch reflex”
· Gangguan jalan sedang
· Hiperekstensi lutut saat fase menapak
· Mampu berjalan cukup jau
Type II
· Sangat minim aktivasi kontrol motorik
· Hiperekstensi lutut yang ekstrim
· Terbatasnya fleksi lutut
· Tidak adanya aktivitas otot calf dan tibialis anterior
· Kemampuan jalannya bervariasi
· Kebanyakan memerlukan splint
Type III
· Sangat berlebihan (ngoyo), stereo type
· Disorganisasi pada fase menapak dan mengayun
Adaptasi jalan sekunder:
o Berkurangya amplitudo gerakan
o Berkurangnya dan atau tidak seimbangnya step length dan stride length
o Bertambahnya stride width
o Berkurangnya kecepatan atau meningkatnya waktu tempuh
o Meningkatnya pemanfaatan lengan sebagai support dan keseimbangan
(misalnya memakai alat bantu)
Langkah 2 Latihan komponen yang hilang
1. Fase menapak
a. Melatih ekstensi hip selama fase menapak
b. Melatih kontrol lutut untuk fase manapak
c. Melatih geseran ke arah horizontal-lateral pelvis
2. Fase mengayun
a. Melatih fleksi lutut pada awal fase mengayun
b. Melatih ekstensi lutut dan dorsifleksi kaki pada saat heel strike
Langkah 3 Latihan jalan
1. latihan jalan itu sendiri
2. Meningkatkan kompleksitas latihan
Langkah 4 Mentransfer latihan ke kehidupan sehari-hari
Pasien diberikan motivasi untuk banyak berjalan dn melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-harinya. Meski demikian pemakaian alat bantu jalan tidak
dianjurkan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hemiplegia adalah kelainan paling sering yang terjadi setelah stroke dan berperan signifikan dalam mengurangi kemampuan pola jalan. Walaupun mayoritas pasien stroke dapat berjalan secara independen namun banyak yang tidak dapat mencapai level berjalan yang mampu membuat mereka menjalani aktivitas sehari-hari. Pemulihan pola berjalan adalah tujuan utama program rehabilitasi pasien stroke. Oleh karena itu, pola berjalan hemiplegik telah menjadi objek penelitian untuk perkembangan metode analisis gait dan rehabilitasi pasien stroke selama bertahun-tahun.
Gangguan pola berjalan setelah stroke disebabkan karena kerusakan otak akibat pecahnya pembuluh darah otak. Jika kerusakannya mengenai bagian otak yang mengatur fungsi motorik atau sensasi di salah satu atau kedua tungkai maka akan mempengaruhi kemampuan berjalan pasien. Penyebab lainnya adalah atrofi. Otot kehilangan kekuatan dan tonus jika tidak digunakan dalam jangka waktu yang lama. Penyebab ketiga gangguan pola jalan pasien stroke adalah keseimbangan. Kehilangan sensasi pada tungkai serta rusaknya bagian otak yang mengatur keseimbangan dapat menganggu keseimbangan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
https://materipenjasorkes.blogspot.co.id/2014/10/pengertian-perbedaan-jalan-dan-lari.html
http://dokumen.tips/documents/pola-jalan-pasien-stroke.html
http://dewiakfis.blogspot.co.id/2014/06/hemiplegia.html
http://gabriel-tumiwan.blogspot.co.id/2011/10/hemiplegia.html
http://zahstraces.blogspot.co.id/2012/03/hemiplegia.html
http://eprints.umpo.ac.id/874/2/BAB%201.pdf
http://repository.unhas.ac.id:4001/digilib/files/disk1/179/--joshuachri-8946-1-11-joshu-a.pdf
https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1302315014-2-BAB%20I.pdf
http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Journal-3891-Irfan.pdf
0 komentar:
Posting Komentar